http://www.sarjanaku.com/2010/11/fungsi-kode-etik.html
(18/05/2012; 07:25)
----------------------------------------------------------------------------------------------
Di
dalam bahasa Sansekerta, guru berarti yang dihormati. Rasa hormat ini sampai
kini masih hidup di tengah masyarakat tradisional/pedesaan. Mereka masih
menaruh rasa hormat dan status sosial yang tinggi terhadap profesi guru. Di
kepulauan Sangihe, misalnya, masyarakat menyebut guru pria dengan panggilan
tuan, lengkapnya tuan guru, suatu panggilan yang penuh rasa kagum dan hormat
terhadap profesi guru.
Masyarakat pedesaan umumnya menganggap profesi guru sebagai profesi orang suci (saint) yang mampu memberi pencerahan dan dapat mengembangkan potensi yang tersimpan di dalam diri siswa. Selain itu sebagian besar masyarakat tradisional memiliki mitos yang kuat bahwa guru adalah profesi yang tidak pernah mengeluh dengan gaji yang minim, profesi yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan profesi yang bangga dengan gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Dalam pandangan masyarakat tradisional, guru dianggap profesional jika anak sudah dapat membaca, menulis dan berhitung, atau anak mendapat nilai tinggi, naik kelas dan lulus ujian .
Masyarakat pedesaan umumnya menganggap profesi guru sebagai profesi orang suci (saint) yang mampu memberi pencerahan dan dapat mengembangkan potensi yang tersimpan di dalam diri siswa. Selain itu sebagian besar masyarakat tradisional memiliki mitos yang kuat bahwa guru adalah profesi yang tidak pernah mengeluh dengan gaji yang minim, profesi yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan profesi yang bangga dengan gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Dalam pandangan masyarakat tradisional, guru dianggap profesional jika anak sudah dapat membaca, menulis dan berhitung, atau anak mendapat nilai tinggi, naik kelas dan lulus ujian .
Dalam
pandangan masyarakat modern, guru belum merupakan profesi yang profesional jika
hanya mampu membuat murid membaca, menulis dan berhitung, atau mendapat nilai
tinggi, naik kelas, dan lulus ujian. Masyarakat modern menganggap kompetensi
guru belum lengkap jika hanya dilihat dari keahlian dan ketrampilan yang
dimiliki melainkan juga dari orientasi guru terhadap perubahan dan inovasi.
Bagi
masyarakat modern, eksistensi guru yang mandiri, kreatif, dan inovatif
merupakan salah satu aspek penting untuk membangun kehidupan bangsa. Banyak
ahli berpendapat bahwa keberhasilan negara Asia Timur (Cina, Korsel dan Jepang)
muncul sebagai negara industri baru karena didukung oleh penduduk/SDM terdidik
dalam jumlah yang memadai sebagai hasil sentuhan manusiawi guru.
Salah satu
bangsa modern yang menghargai profesi guru adalah bangsa Jepang. Bangsa Jepang
menyadari bahwa guru yang bermutu merupakan kunci keberhasilan pem bangunan. She no on wa yama yori mo ta/(ai umiyorimo
fu/(ai yang berarti jasa guru lebih tinggi dari gunung yang paling tinggi,
lebih dalam dari laut paling dalam. Hal ini merupakan ungkapan penghargaan
bangsa Jepang terhadap profesi guru.
Guru pada
sejumlah negara maju sangat dihargai karena guru secara spesifik,
- Memiliki kecakapan dan kemampuan untuk memimpin dan mengelola pendidikan;
- Memiliki ketajaman pemahaman dan kecakapan intektual, cerdas emosional dan sosial untuk membangun pendidikan yang bermutu; dan
- Memiliki perencanaan yang matang, bijaksana, kontekstual dan efektif untuk membangun SDM) yang unggul, bermartabat dan memiliki daya saing.
Keunggulan
mereka adalah terus maju untuk mencapai yang terbaik dan memperbaiki yang
terpuruk. Mereka secara berkelanjutan terus meningkatkan mutu diri dari guru
biasa ke guru yang baik dan terus berupaya meningkat ke guru yang lebih baik
dan akhirnya menjadi guru yang terbaik, yang mampu memberi inspirasi, ahli
dalam materi, memiliki moral yang tinggi dan menjadi teladan yang baik bagi
siswa.
Di negara kita, guru yang memiliki keahlian spesialisasi harus diakui masih langka. Walaupun sudah sejak puluhan tahun disiapkan, namun hasilnya masih belum nampak secara nyata. Ini disebabkan karena masih cukup banyak guru yang belum memiliki konsep diri yang baik, tidak tepat menyandang predikat sebagai guru, dan mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan keahliannya. Semuanya terjadi karena kemandirian guru belum nampak secara nyata, yaitu sebagian guru belum mampu melihat konsep dirinya (self consept), ide dirinya (self idea), dan realita dirinya (self reality). Tipe guru seperti ini mustahil dapat menciptakan suasana kegiatan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).
Guru adalah
bagian dari kesadaran sejarah pendidikan di dunia. Citra guru berkembang dan
berubah sesuai dengan perkembangan dan perubahan konsep dan persepsi manusia
terhadap pendidikan dan kehidupan itu sendiri. Dalam hal ini profesi guru pada
mulanya dikonsep sebagai kemampuan memberi dan mengembangkan pengetahuan pesena
didik. Namun, beberapa dasawarsa terakhir konsep, persepsi, dan penilaian
terhadap profesi guru mulai bergeser.
Hal itu selain karena perubahan pandangan manusia-masyarakat terhadap integritas seseorang yang berkaitan dengan produktivitas ekonomisnya, juga karena perkembangan yang cukup radikal di bidang pengetahuan dan teknologi, terutama bidang informasi dan komunikasi, yang kemudian mendorong pengembangan media belajar dan paradigma teknologi pendidikan. Dalam perkembangan berikutnya, sekaligus sebagai biasnya, guru mulai mengalami dilema eksistensial. Artinya, penguasaan ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi hegemoni guru, tetapi menyebar seluas perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti dunia penerbitan, buku, majalah, koran, Serta media elektronik lainnya. Untuk itu, posisi krusial guru perlu dijernihkan tatkala kita hendak merumuskan kembali pendidikan yang lebih memajukan masa depan generasi berikutnya.
Hal itu selain karena perubahan pandangan manusia-masyarakat terhadap integritas seseorang yang berkaitan dengan produktivitas ekonomisnya, juga karena perkembangan yang cukup radikal di bidang pengetahuan dan teknologi, terutama bidang informasi dan komunikasi, yang kemudian mendorong pengembangan media belajar dan paradigma teknologi pendidikan. Dalam perkembangan berikutnya, sekaligus sebagai biasnya, guru mulai mengalami dilema eksistensial. Artinya, penguasaan ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi hegemoni guru, tetapi menyebar seluas perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti dunia penerbitan, buku, majalah, koran, Serta media elektronik lainnya. Untuk itu, posisi krusial guru perlu dijernihkan tatkala kita hendak merumuskan kembali pendidikan yang lebih memajukan masa depan generasi berikutnya.
Dengan
demikian, para guru dituntut tampil lebih profesional, lebih tinggi ilmu
pengetahuannya dan lebih cekatan dalam penguasaan teknologi komunikasi dan
informasi. Artinya, guru mau tidak mau dan dituntut harus terus meningkatkan
kecakapan dan pengetahuannya selangkah ke depan lebih dari pengetahuan
masyarakat dan anak didiknya. Dalam kehidupan bermasyarakat pun guru diharapkan
lebih bermoral dan berakhlak daripada masyarakat kebanyakan, tetapi di situlah
muncul problem tatkala para guru tidak memiliki kemampuan materi untuk memiliki
segala akses dan jaringan informasi sepeti TV, buku-buku, majalah, dan koran.
Guru-guru memiliki gaji dan tunjangan yang jauh dari cukup untuk meningkatkan
profesinya sekaligus memperkaya informasi mengenai perkembangan pengetahuan dan
berbagai dinamika kehidupan modern. Sehingga, rasanya sangat sulit di era
modern ini guru dapat tampil lebih profesional, memiliki tanggung jawab moral
profesi sebagai konsekuensi etisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar